Keseimbangan antara Keluarga, Karir, dan Pelayanan
Sebagai orang Kristen yang sudah memperoleh karunia berkeluarga hampir 36 tahun, saya ingin menyaksikan kebesaran TUHAN dalam kehidupan keluarga kami.
Dalam 6-10 tahun pertama berkeluarga, kami hanya diperlengkapi sedikit pengetahuan tentang hal-hal yang bisa diantisipasi dalam berumah tangga melalui seminar pranikah di gereja kami .
Pada awal pernikahan, tentu saja kami mengalami sedikit kesulitan dalam mengatur keseimbangan antara karir, keluarga dan pelayanan.
Bila kami mengingatnya kembali, pada saat itu pelayanlah yang kami korbankan. Dengan kata lain kami tidak melakukan pelayanan di 5 tahun pertama pernikahan kami. Itu dikarenakan kami lebih mengutamakan karir/pekerjaan. Saat itu kami belum mengerti bahwa pekerjaan merupakan panggilan, ibadah dan pelayanan. Yang kami mengerti saat itu, “bekerja hanya untuk mencari nafkah”.
Setelah Tuhan mengaruniakan kami seorang putri, dimana pada saat itu kami mulai disibukkan dengan karir dan pelayanan, dengan bekal pengetahuan yang begitu sedikit tentang hal-hal keluarga, terjadilah hal-hal yang tak terduga dan tidak bisa kami antisipasi.
Saat usia putri kami 2 tahun(1992), kami lebih sering menyerahkan dia pada pembantu dan ternyata ia sering diajak nonton televisi tentang film-film yang belum pantas ditonton bagi seorang anak.
Setelah 6 bulan kemudian kami menyadari bahwa putri kami mulai meniru cerita film percintaan dan iklan yang belum pantas ia tonton.
Bertepatan pada waktu itu, gereja asal kami beribadah membuka persekutuan pasutri, dan dari persekutuan tersebutlah kami mulai mendapat banyak arahan yang positif tentang hal-hal yang perlu kami perhatikan dalam mendidik anak yang TUHAN percayakan pada kami. Kami bahkan juga mendapat arahan tentang bagaimana cara mengatur kesimbangan antara keluarga, karir dan pelayanan.
Kami menyadari untuk bisa mengatur keseimbangan ketiganya bukanlah suatu hal yang mudah dan akan menemui banyak hal yang tidak menyenangkan. Bagaimana mungkin bisa dengan mudah mencapai keseimbangan tersebut, jika tak pernah bertemu banyak benturan yang tidak menyenangkan. Dengan berbagai upaya kami berusaha mencari tahu untuk bisa mencapai ketiganya dengan seimbang, karena ketiganya penting dan tak mungkin boleh mengorbankan salah satunya.
Selama fase pernikahan di sepuluh tahun yang kedua, dari tahun ke 11 hingga tahun yang ke 20 saat itu, uji coba kami mengalami kegagalan banyak kegagalan dan pembaharuan.
Tak bisa disangkal, banyak kerja keras dan kesulitan yang kami peroleh untuk bisa mencapai ketiganya.
Sebagaimana pepatah dan wejangan orang bijaksana mengatakan : “belajarlah pada pengalaman orang lain yang sudah melalui jalan tersebut tanpa perlu kita mencobanya dan menemukan banyak kesalahan yang sama”, dalam kegagalan Imam Eli dan Samuel dalam Alkitab Perjanjian Lama itu. Akibat kesibukan pelayanan dan pekerjaan, mereka lalai mendidik anak-anak mereka untuk bisa mengikuti jejak sang ayah yang cukup sukses dalam pelayanan mereka sebagai Imam maupun nabi.
Tanpa kita sadari, seringkali kita terjebak pada paradigma kita yang terbatas. Kita sering berpikir dan membagi-bagi kalau yang namanya pelayanan harus di gereja, yang nama berkarir harus di sebuah kantor, entah bekerja dengan orang lain atau buka usaha sendiri dan mendidk anak harus di rumah. (Kondisi pandemic 2020-2022 memaksa kita berkarir dari rumah).
Jansen Sinamo dalam bukunya yang berjudul : “8 Etos kerja Profesional” mengatakan bahwa kerja lebih dari sekadar mencari nafkah, lebih dari sekadar membangun karir. Tetapi pekerjaan kita memiliki misi yang lebih besar daripada itu, seperti pembangunan ekonomi bangsa, pelestarian bumi, pembangunan demokrasi, dan idealisme yang agung dan besar”. (Sinamo, Institut Darma Mahardika, 2005:134).
Di bagian lain ia juga mengungkapkan bahwa seringkali kita membedakan antara satu dan lainnya seperti ungkapan berikut :
“Problema utama mengapa orang tidak mampu menghayati pekerjaannya sebagai ibadah, lahir dari kenyataan bahwa orang suka membagi dua hidupnya menjadi wilayah sakral(suci) dan wilayah profane (sekuler), Doa, sembayang, upacara digolongkan sebagai suci, sedangkan makan,minum, bekerja digolongkan sebagai sekulaer, akibatnya hidup mereka terbelah, terpecah, tidak menyatu, tidak integral.
Konsep suci lahir dari tradisi agama, yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan disebut suci karena Tuhan sendiri adalah sang Maha Suci. Jadi karena bekerja adalah perintah Tuhan maka sebenarya pekerjaan itu menjadi suci hakikatnya, atau pekerjaan yang dimotivasi dan dipersembahkan untuk Tuhan menajdikan pekerjaan itu memiliki dimensi keisucian.” (Sinamo, Institut Darma Mahardika, 2005:137).
Bila kita mengubah paradigma kita tentang pekerjaan atau karir seperti yang diungkapkapkan di atas, saya yakin kita akan lebih mudah mengatur keseimbangan antara keluarga, karir dan pelayanan. Kita tidak lagi akan terlalu menekankan ketiganya harus berada di suatu tempat, sama seperti orang Israel yang memahami tentang beribadah pada Tuhan harus di Yerusalem saja.
Yesus mengajarkan bahwa anugerah melayani dapat dilakukan dimana saja, berarti saya menitikberatkan kita tak perlu melakukan pelayanan di gereja lagi. Yang dimaksudkan disini adalah apabila pilihan kita lebih mengutamakan keluarga dengan lebih memfokuskan waktu kita untuk berkomunikasi dan mendidik anak, itu pun adalah ibadah dan pelayanan kita.
Dan bila kita masih memiliki sedikit waktu lebih, mungkin kita tidak lagi bisa melakukan pelayanan di beberapa bagian/ katagorial sekaligus seperti saat kita masih muda, tetapi kita masih bisa melakukan pelayanan di katagorial Pasangan suami-istri (pasutri), apa pun disebutannya di masing-masing gereja tentu berbeda atau disalah satu katagorial saja.
Untuk bisa mencapai keseimbangan antara keluarga, karir dan pelayanan yang kita impikan, kita harus membagi waktu kita sebijak mungkin. Sebagaimana yang saya lakukan selama tahun ke 11-20 pernikahan kami, adakalanya saya sibuk dengan karir dan pelayanan, namun ada waktu tertentu yang saya jadikan sebagai waktu untuk bisa berkomunikasi dengan istri dan anak di saat itu.
Setidaknya sebulan sekali saya ajak istri dan anak keluar makan bersama untuk berkomunikasi dan menjalin persahabatan di antara kami. Juga setiap minggu diluangkan waktu sebisanya untuk melakukan ibadah keluarga, saling membagikan pergumulan dan berkat yang Tuhan berikan pada kami, mendengarkan Firman Tuhan dan saling mendoakan.
Adakalanya pada waktu tertentu saya sebagai seorang ayah memberikan pengajaran tertentu pada anak saya, membicarakan tentang Firman Tuhan, etika kehidupan dan lain sebagainya yang bisa mempersiapkan dia untuk menghadapi masa depannya.
Memang saya menyadari, untuk bisa mencapai apa yang telah kami lakukan 16 tahun lalu, kami mengahadapi banyak pergumulan dan kesulitan serta kegagalan. Namun semua upaya mencoba dan gagal (trial and error) itulah yang menolong kami untuk tidak mengulang kesalahan yang sama.
Di masa 5 tahun terakhir ini(2001-2006), pengetahuan tentang hal-hal berumah tangga yang saya peroleh, melalui buku dan arahan para hamba Tuhan yang kompeten dibidangnya, menolong kami untuk lebih bisa mengatur kesimbangan antara keluarga, karir dan pelayanan. Dan saat itu kami bisa lebih fokus pada pelayanan dan karir, karena anak kami sudah lebih relatif mandiri sehingga kuantitas waktu yang diperlukan lebih terfokus untuk membimbing rohani dan intelektualnya serta pemahaman akan etika dan moral yang sesuai dengan ajaran Alkitab.
Mungkin perjalanan anda sebagai pembaca tuaian.com dan pasangan muda dimana pun masih membutuhkan waktu yang panjang untuk belajar dan menjalani kehidupan keluarga Anda, saya pikir perlu ada yang kita utamakan sambil membuat keseimbangan bagi yang lainnya tanpa – sebisa mungkin menorbankan yang mana pun. Amin.
(Pernah dimuat di Buletin triwulanan edisi ketiga 2006 di BASIC)
Ditulis oleh: Yusak Timothy, M.Th